Menjadikan diri anda sebagai otoritas merupakan sebuah
prinsip dasar yang harus anda miliki dalam menjadi seorang Penghipnotis.
Prinsip sederhana namun penuh daya yang akan menjadikan setiap anda segesti.
Anda akan mencapai pengaruh dan kuasa luar biasa pada orang lain.
Sementara
para penghipnotis (?) lain masih berkutat dengan kata-kata dan berbagai aturan,
namun belum mencapai “hasil” yang diinginkan karena kehilangan “roh” sejati
dari Hipnotis, anda menjadikan diri anda Sang Penghipnotis sejati, yang bisa
menggerakan, merubah dan mempengaruhi orang lain dengan sangat mudah. Mungkin
mereka akan heran dengan besarnya dampak dan cantiknya keberhasilan yang anda
capai.
(Kepuasan adalah salah satu driving force terkuat dalam diri manusia)
Setiap orang membutuhkan otoritas dalam kehidupan mereka,
dan setiap orang merupakan perwujudan dari sebuah “paradoks”, yang senantiasa
bertentangan dengan diri mereka sendiri, yang senantiasa melakukan pembatalan (self-cancelling) atas berbagai prinsip
dan nilai mereka sendiri.
Memahami Paradoks dan Dinamika “Gila” Dalam Diri Manusia
Paradoks pertama
yang ada dalam diri manusia adalah mereka senantiasa menginginkan kebebasan
dalam segala hal, menginginkan menjadi pribadi yang sepenuhnya merdeka dan
memiliki kuasa dalam diri mereka. Menjadi pribadi yang “berkuasa” atas dirinya
sendiri dan “bebas” dalam mengatur dan menentukan kehidupanya sendiri membuat
mereka mendapatkan sense of power. Namun, saat mereka telah “mendapatkan”
kebebasan yang mereka inginkan, mereka kemudian “menyerahkan” kembali kebebasan
itu pada otoritas-otoritas di luar diri mereka, menyerahkan otoritas atas
kebebasan mereka pada hal-hal yang bukan mereka. Mereka merasa terlalu lemah
untuk menjadi terlalu bebas, sehingga mereka takut untuk memiliki kebebasan
tersebut, takut untuk mengaturnya, takut dengan tanggung jawabnya.
(Manusia diciptakan dengan dualitas dalam diri mereka)
Guru Spiritual, Tuhan, Para Dewa, Para Malaikat,
Pemimpin, Coach, Therapist, Konselor, sahabat, “teman curhat” dan bahkan
“sahabat virtual” pun menjadi otoritas yang mereka jadikan tempat mereka
bergantung. Mereka kemudian sedikit-sedikit meminta saran, meminta pendapat dan
meminta ini itu dari orang lain, yang akan membuat mereka merasa nyaman. Jauh
lebih mudah saat ada yang “mengatur” dan memberi tahukan apa yang harus
dilakukan, dibanding harus melakukanya sendiri. Namun, bukan ke sembarang orang
mereka akan menyerahkan kebebasan yang sangat mereka cintai itu, mereka hanya
menyerahkanya pada orang yang mereka anggap sebagai otoritasnya.
Jadi, paradoks pertama, manusia menginginkan kebebasan,
namun kemudian merekan akan selalu menyerahkan kebebasan yang mereka miliki
pada orang yang mereka anggap sebagai otoritas. Kemudian, otoritas inilah yang
akan mereka jadikan referensi dalam menentukan apa yang harus dipikirkan, apa
yang harus dikatakan, dan apa yang harus dilakukan.
Bayangkan, jika seseorang telah memberikan otoritasnya
pada anda, maka akan seberapa besar kuasa yang anda miliki terhadap orang-orang
tersebut?
Paradoks kedua,
manusia senantiasa membutuhkan, mencari dan membentuk makna untuk diri dan
kehidupanya, namun mereka akan selalu meragukan makna yang mereka temukan
sendiri, sehingga mereka senantiasa mencari hal-hal lain (orang lain, buku,
vidio, pembimbing dan sejenisnya) yang akan bisa memberikan makna untuk diri
dan kehidupanya.
Kita tahu, bahwa makna (meanings) merupakan salah satu landasan kita dalam menjalani
kehidupan. Kita melakukan sesuatu berdasarkan makna yang kita tempatkan pada
apa yang kita lakukan itu, dan kita menanggapi sesuatu, seseorang atau keadaan
bukan berdasarkan bagaimana sejatinya sesuatu, seseorang atau keadaan tersebut,
namun berdasarkan bagaimana kita menanggapi sesuatu, seseorang atau keadaan
bersangkutan. Kita, di sepanjang kehidupan kita merupakan “pembentuk makna”
atau “pemberi makna” terhadap apa pun.
Namun, dari manakah datangnya pemaknaan yang kita ikuti
dan yakini itu? Siapakah yang sebenarnya memberi makna atas berbagai pemaknaan
tersebut? Karena kita senang merasa bebas, bebas dalam menentukan kehendak,
maka banyak orang akan cenderung menjawab “tentu saja, saya!”.
Sayangnya, cara kita memaknai sesuatu akan ditentukan
oleh pemaknaan dan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan kriteria yang kita
telah miliki sebelumnya, dan segala referensi kita dalam membentuk makna baru
terhadap hal-hal baru ditentukan oleh data-data lama yang berasal dari otoritas
anda (kebanyakanya). Anda memaknai sesuatu berdasarkan asosiasi yang anda
tempatkan terhadap seseorang atau sesuatu itu dengan memori atau data yang anda
miliki di pikiran anda, dikaitkan dengan suasana hati anda, nilai-nilai yang
anda miliki sebelumnya dan hal-hal lainya. Tidak ada yang benar-benar baru.
Kebutuhan untuk senantiasa memaknai sesuatu, mengerti dan
memahami segala yang terjadi dibalik berbagai hal sudah menjadi kecanduan kita
yang paling vital, yang tanpanya kita tidak akan dapat hidup. Dalam sehari kita
melakukan ribuan pemaknaan, pengartian dan rasionalisasi, dan berdasarkan semua
itulah kita memiliki dinamika kehidupan kita.
Kita melakukan pemaknaan mulai dari hal-hal yang paling
kecil (contoh: orang yang sering melirik saya mungkin meliha ada yang aneh
dalam diri saya), sampai hal-hal yang paling besar yang mendalam dan
fundamental dalam kehidupan (contoh: kenapa Tuhan menciptakan manusia, ya?).
kemudian atas berbagai hal yang kita tidak bisa (atau tidak percaya diri untuk)
maknai sendiri, maka kita akan mencari referensi ke otoritas kita, ke orang
yang kita anggap memiliki kapabilitas dalam hal itu.
Namun, saya ingin anda mengingat hal ini, bukan sebatas
apakah anda “mampu” dan “bisa” yang menjdikan anda sebagai otoritas, namun jug
seberapa “menyamankan” dan seberapa “disukai” anda oleh orang tersebut (liking factor dari Robert Cialdini).
Karena, meski pun anda dianggap mampu dan bisa, namun jika anda, karena satu
atau beberapa alasan tidak disukai, maka anda tetap tidak akan menjadi
otoritasnya.
Hitler menjadi contoh yang sangat brilian dalam hal ini.
Dia memberikan pemaknaan dan arti atas segala hal yang terjadi di Jerman, dan
mengarahkan makna (reframming) itu sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan
keinginanya. Dia mengarahkan pemikiran warga Jerman dengan sangat mudah, dia
menjadi “Guru Kehidupan” bagi warga Jerman (dibahas lebih rinci dalam The Hitler Effect), tentu saja setelah
dia menempatkan dirinya sebagai otoritas Jerman kala itu.
Kekalahan Jerman disebabkan karena “noda” yang dibawa
Kaum Yahudi terhadap keagungan Bangsa Arya, Bangsa Arya adalah Bangsa termulia
yang harus menguasai dunia, dan berbagai macam reframming lain dibuat oleh Hitler demi kepentinganya, yang
akhirnya mengantarkan Nazi pada tampuk kejayaan, yang didukung oleh jutaan
masyarakat Jerman.
Dia memberikan banyak kepuasan pada warga Jerman dengan
berbagai pemaknaan yang “menyamankan”, bukan yang berdasarkan atas analisis dan
sistesis yang logis, namun berdasarkan pada kepentingan-kepentingan.
Hal ini mengantarkan kita pada paradoks ketiga manusia ...
(Bersambung ke Edisi Berikutnya)
Tulisan ini merupakan salah satu materi dalam buku saya mengenai MIND CONTROL yang akan segera release
Tulisan ini merupakan salah satu materi dalam buku saya mengenai MIND CONTROL yang akan segera release